Program 3in1 Bidang Cybersecurity Menggelar Diskusi Riset Menyoroti Ancaman AI dan Kebutuhan Data Lokal
Malang, 8 Agustus 2025 – Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya menggelar diskusi riset bertema cybersecurity yang menghadirkan Ts. Dr. Zubaile Bin Abdullah dari Fakulti Sains Komputer dan Teknologi Maklumat UTHM malaysia sebagai narasumber. Acara dibuka oleh Buce Trias Hanggara, S.Kom., M.Kom. selaku Ketua Program Studi Teknologi Informasi FILKOM UB, kemudian diisi dengan sambutan dari Dr. Ir. Fajar Pradana, S.ST., M.Eng., Ketua Departemen Sistem Informasi FILKOM UB, dan dipandu oleh moderator Hariz Farisi, S.Kom., M.T.
Dalam sambutannya, Dr. Ir. Fajar Pradana, S.ST., M.Eng. menekankan pentingnya riset di bidang keamanan siber sebagai bagian dari kontribusi akademik terhadap masyarakat dan negara. Ia menyampaikan bahwa perkembangan teknologi digital yang pesat membawa peluang sekaligus tantangan baru dalam menjaga keamanan data, infrastruktur, dan layanan publik.
“Kolaborasi riset, baik di level nasional maupun internasional, menjadi kunci untuk menciptakan solusi yang relevan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Diskusi inti dipaparkan oleh Ts. Dr. Zubaile Bin Abdullah, pakar keamanan informasi dengan latar belakang pendidikan di University of London. Ia menyoroti peningkatan signifikan serangan siber dalam beberapa tahun terakhir, termasuk maraknya pemanfaatan generative AI dalam menciptakan alat peretasan canggih.
“Kita sudah memasuki era di mana serangan siber tidak hanya dilakukan individu, tetapi juga melibatkan pasar gelap daring dengan layanan seperti ransomware-as-a-service dan teknologi deepfake,” jelasnya.
Dr. Zubaile menekankan bahwa serangan tersebut tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga mengancam infrastruktur vital seperti rumah sakit, jaringan listrik, dan sistem transportasi. Ia mencontohkan bagaimana potensi serangan terhadap kendaraan otonom atau platform e-voting dapat mengganggu stabilitas sosial dan politik.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya riset yang berfokus pada konteks lokal. Menurutnya, banyak penelitian cybersecurity masih mengandalkan dataset dari luar negeri yang tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi di Indonesia maupun Asia Tenggara.
“Penelitian tentang phishing atau deteksi serangan IoT harus didasarkan pada bahasa, budaya, dan pola serangan lokal agar solusi yang dihasilkan benar-benar efektif,” katanya.
Salah satu gagasan yang ditawarkan adalah pengembangan honeypot atau situs tiruan untuk mengumpulkan data serangan, yang kemudian bisa digunakan sebagai dataset baru bagi peneliti di Indonesia dan Malaysia. Dataset tersebut dapat mencakup email berbahasa Indonesia, pola lalu lintas IoT di sektor pertanian cerdas, hingga teks keuangan dalam konteks Asia Tenggara.
Selain itu, Dr. Zubaile menekankan arah riset masa depan di bidang post-quantum cryptography, differential privacy, serta penggunaan explainable AI untuk mendeteksi serangan siber. Ia juga menyoroti pentingnya pendekatan multidisiplin, seperti memadukan cybersecurity dengan psikologi untuk memahami faktor manusia dalam serangan phishing, atau dengan ekonomi untuk menilai analisis biaya-manfaat investasi keamanan digital.
Diskusi semakin interaktif ketika peserta menambahkan ide-ide penelitian seperti peningkatan akurasi deteksi phishing menggunakan random forest dengan optimisasi parameter, serta integrasi pendidikan keamanan siber untuk mahasiswa guna meningkatkan kesadaran terhadap ancaman cyberbullying.
Menutup sesi, moderator menyampaikan apresiasi atas antusiasme para peserta dan menekankan bahwa forum ini diharapkan dapat menjadi wadah berkelanjutan untuk mengembangkan kolaborasi riset di bidang cybersecurity.
Dengan berbagai isu yang diangkat, diskusi ini menegaskan urgensi membangun riset keamanan siber yang tidak hanya mengikuti perkembangan global, tetapi juga relevan dengan kebutuhan di Indonesia. (edw)