Workshop Pengkajian Kurikulum PS. Informatika PTIIK UB
Demi meningkatkan kualitas lulusan dan mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu bersaing dalam era perdagangan bebas yang dimulai tahun 2015 mendatang, maka Program Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer (PTIIK) Universitas Brawijaya akan melakukan pembenahan atas kurikulum yang digunakan sebagai acuan pembelajaran. Diawali dengan pelaksanaan workshop Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan Standar Nasional Perguruan Tinggi (SNPT) pada 17 Mei 2014 lalu untuk mengetahui bagaimana regulasi pemerintah atas pendidikan yang berlangsung di Indonesia, kini pengetahuan tersebut diadopsi untuk merumuskan dan mengkaji kurikulum yang akan diberlakukan di PTIIK UB. Untuk menambah pengetahuan tentang pengkajian kurikulum tersebut maka digelarlah Workshop Pengkajian Kurikulum Informatika pada rumpun keilmuan komputer 2014 pada Sabtu (7/6).
Hadir sebagai pemateri sekaligus pendamping dalam kegiatan tersebut Prof. Dr. Ir. Richardius Eko Indrajit, M.Sc., M.B.A. Selain menjabat sebagai Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Informatika dan Ilmu Komputer (APTIKOM), Prof. Eko Indrajit juga merupakan anggota Badan Standar Nasional Pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional.
Pada acara yang digelar di Ruang A1.4 Gedung A PTIIK UB, dibuka dengan sambutan dari Ir. Sutrisno MT. selaku Ketua PTIIK. Menurut Ir. Sutrisno, kurikulum merupakan ruh untuk sebuah institusi pendidikan.
Perkembangan teknologi informasi sendiri sangat pesat. Jadi agar kualitas dan kompetensi lulusan PTIIK dapat sesuai dengan kebutuhan pengguna lulusan, maka kurikulum harus senantiasa dikembangkan, ujarnya.
Dalam kegiatan tersebut terdapat tiga hal penting yang menjadi agenda pokok pembahasan, yaitu; (1) posisi kurikulum Informatika/Ilmu Komputer, Sistem Informasi dan Sistem Komputer di APTIKOM dan di Indonesia, (2) review kurikulum KBK milik PTIIK UB yang disusun tahun 2012 lalu, (3) Teknis penyusunan kurikulum berbasis KKNI. Menurut Prof. Eko Indrajit untuk menyusun kurikulum, sebuah institusi pendidikan harus terlebih dahulu memperhatikan kelebihan serta kekurangan yang dimiliki oleh internal institusinya masing-masing.
Setiap Perguruan Tinggi itu punya hak masing-masing untuk menentukan strategi penyusunan kurikulumnya. Tergantung potensi yang dimiliki seperti; dosen yang dimiliki seperti apa, lalu kampus dan fasilitas yang dimiliki seperti apa, jelas Prof. Eko Indrajit.
Setelah mengetahui potensi internal institusi barulah kemudian dapat ditentukan jenis kurikulum yang akan diberlakukan, dengan terlebih dahulu menentukan kompetensi lulusan seperti apa yang ingin dihasilkan. Dari jenis kompetensi lulusan yang ingin dicapai tersebut maka dapat dirumuskan capaian pembelajaran (learning outcomes) yang ditargetkan. Disampaikan oleh Prof. Eko Indrajit bahwa learning outcomes yang baik adalah yang dapat diukur. Oleh karenanya penggunaan bahasa memahami, mengetahui atau mengerti dalam perumusan learning outcomes sangat tidak disarankan.
Kalau disebutkan mengetahui atau memahami sesuatu hal itu akan sulit diukur. Sebaiknya dibuat lebih spesifik misalkan memahami pengenalan pola itu berarti mahasiswa harus dapat menjelaskan definisi pengenalan pola secara detil. Berarti learning outcomesnya bukan ditulis memahami pengenalan pola, tapi lebih terperinci ditulis bahwa mahasiswa dapat menjelaskan definisi pengenalan pola secara detil dan benar, jelas Prof. Eko Indrajit.
Sempat disinggung juga dalam kesempatan tersebut untuk mengetahui seberapa berhasil seorang dosen membimbing mahasiswanya sehingga dapat memenuhi capaian pembelajarannya, maka evaluasi pembelajaran seharusnya dilakukan oleh dosen yang lain. Akan tetapi tetap berpatokan pada rumusan capaian pembelajaran mata kuliah terkait yang telah disepakati bersama. Hal ini untuk mendapatkan hasil yang benar dari capaian pembelajaran.
Jadi untuk evaluasi pembelajaran jangan dosen yang memberi materi yang kemudian menguji. Nanti akan terjadi dilema antara ingin mengetahui seberapa berhasil dirinya mengajar dengan keinginan menunjukkan hasil yang baik dari pengajarannya. Jadi supaya fair dan tidak menimbulkan dilema sebaiknya dosen lain yang menguji, papar Prof. Eko Indrajit.
Acara kemudian ditutup dengan praktek pembuatan learning outcomes oleh para dosen PTIIK yang hadir sebagai peserta dengan tetap dibimbing oleh Prof. Eko Indrajit. [dna]