Kuliah tamu Big Data DTS 2019 UB: Kemampuan Adaptasi yang Tinggi Kunci Sukses Hadapi Revolusi Industri

Kuliah tamu Big Data DTS 2019 UB: Kemampuan Adaptasi yang Tinggi Kunci Sukses Hadapi Revolusi Industri

Untuk menghadapi revolusi industri versi berapapun yang terpenting adalah memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi dengan perubahan serta memiliki 3 (tiga) smart, yaitu smart heart (hati yang smart), smart character (karakter atau kepribadian yang smart) dan smart deeds (perbuatan yang smart). Hal ini disampaikan oleh Fatwa Ramdani, D.Sc., S.Si., M.Sc. dalam kegiatan kuliah tamu big data analytics Fresh Graduate Academy – Digital Talent Scholarship (FGA – DTS) 2019 Universitas Brawijaya pada Rabu (21/8/2019). Dijelaskan oleh Fatwa bahwa yang dimaksud smart character adalah karakter yang baik dan kuat. Karakter yang baik adalah yang memiliki sifat, adil dan amanah. Sementara karakter yang kuat adalah memiliki sifat berani, disiplin dan sungguh-sungguh. Dengan memiliki 3 (tiga) smart itu maka tujuan yang akan dicapai juga menjadi baik.

“Banyak yang sudah belajar sampai sejauh ini tapi hanya belajar teknisnya saja. Mereka lupa dengan visi dari revolusi industri itu sendiri yang dicetuskan oleh Klaus Schwab yaitu untuk lebih memanusiakan manusia,” ujar Fatwa.

Hal tersebut berlaku pula dalam mempelajari big geospatial data. Dalam kuliah tamu tersebut Fatwa mengangkat tema “Bagaimana big geospasial data bisa mengubah cara kita dalam mengelola bumi”. Terdapat 3 (tiga) bahasan materi yang disampaikan yaitu konsep dasar, studi kasus dan praktek penggunaan QGIS sebuah perangkat sistem informasi geografis (SIG) open source. Dalam sesi paparan tentang konsep dasar, Fatwa menjelaskan tentang apa itu geoinformatics, geospatial data, bagaimana mengelola big data geospatial serta berbagai platform yang dapat diigunakan.

Fatwa menjelaskan dalam revolusi industri 4.0 data berukuran besar itu kualitasnya pasti buruk dan ketidakpastiannya pasti tinggi oleh karenanya data berukuran besar tersebut disebut dirty data. Oleh karenanya big geospatial data harus dibersihkan sebelum disajikan atau diberikan ke pengguna. Selain itu dalam pemodelan big geospatial data harus dipahami jenis struktur atau bentuk data yang digunakan. Apakah akan difokuskan pada performa atau pada detil data. Karena kedua hal tersebut sulit untuk bisa dicapai bersama. Jika data yang disajikan ingin dapat diakses cepat oleh pengguna maka detil data harus dikorbankan dan begitu juga sebaliknya. Isu big data lainnya adalah permasalahan privasi. Saat ini manusia sebagai individu dapat berfungsi sebagai sensor yang bisa mengakuisisi data karena adanya GPS. Keberadaan setiap individu yang sebenarnya merupakan privasi kini dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam kebutuhan informasi, misalkan informasi kemacetan. Hal ini hingga kini belum ada peraturan perlindungan undang-undangnya.

Selain isu-isu terkini tentang big geospatial data Fatwa juga menjelaskan tentang kekuatan dari big geospatial data, yaitu pada visualisasi dan analisis visualnya. Dibandingkan data biasa yang hanya bisa disajikan daalm bentuk teks, big data geospatial yang berukuran besar dapat divisualisasikan sehingga dapat lebih mudah dipahami pengguna. Sementara itu tantangan bagi peneliti yang berkecimpung dalam big geospatial data meliputi (1) menemukan cara memvisualisasikan data geospasial yang semakin besar agar representasi data yang disajikan tetap efisien, (2) menemukan cara proses analisis, mining visualisasi agar sesuai kebutuhan tapi juga sesuai dengan prinsip desain kartografi dan (3) sensor yang tersedia akan semakin banyak tidak hanya smartphone.

Kegiatan kuliah tamu ini kemudian diakhiri dengan praktek penggunaan QGIS untuk kegempaan. Para peserta diajarkan cara memperoleh data gempa selama tahun 1900 hingga 2019, kemudian diminta untuk menjelaskan pengetahuan baru apa yang bisa didapat dari data tersebut. Peserta kemudian diminta untuk mencari permasalahan apa yang ada di industri atau masyarakat yang dapat dipecahkan dengan pengetahuan baru dan big geospatial data tersebut. [dna/pic edw]