Belajar Kimia Bisa Lebih Menyenangkan dengan Game Rate of Reaction

Belajar Kimia Bisa Lebih Menyenangkan dengan Game Rate of Reaction

Mata pelajaran kimia yang selama ini seringkali dianggap sulit untuk dipahami para siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), kini bisa dipelajari dengan cara yang lebih menyenangkan. Dua mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya (FILKOM UB) membuat sebuah game edukasi untuk mempelajari materi tentang laju reaksi yang ada pada mata pelajaran Kimia dan diberinama Rate of Reaction. Mereka adalah Muhammad Hafis, mahasiswa Magister Ilmu Komputer (S2) dan Ignatius Candra, mahasiswa S1 Prodi Sistem Informasi. Keduanya mengerjakan penelitian ini dibawah bimbingan dosen FILKOM Dr. Eng., Ahmad Afif Supianto, S.Si., M.Kom.

Latar belakang dibuatnya game edukasi ini karena Kimia seringkali dikatakan merupakan ilmu yang memiliki konsep abstrak dan untuk mengajarkannya pada peserta didik dibutuhkan banyak alat peraga yang tidak semua sekolah bisa menyediakannya. Rate of Reaction dirancang menyerupai laboratorium virtual yang dikemas dalam bentuk game agar pengguna bisa mendapat manfaat belajar dengan cara yang menyenangkan. Pada game ini pengguna akan menemukan alat peraga layaknya di laboratorium kimia, seperti tabung elemen, larutan dan bahan kimia padat tertentu. Pengguna dapat menambahkan faktor yang mempengaruhi laju reaksi bahan-bahan yang telah disediakan, antara lain dengan mengubah suhunya, mengubah luas permukaan bahan, atau mengubah konsentrasi larutan yang ada.

“Misal disediakan larutan air dan tablet Effervescent. Jika pengguna ditugaskan untuk mempercepat laju reaksi kedua bahan tersebut ketika dicampurkan, maka pengguna bisa mencoba dengan cara memecahkan tablet menjadi serpihan yang lebih kecil. Atau dalam kasus yang lain pengguna bisa juga mencoba meningkatkan suhu larutan dengan pemanasan untuk melihat apakah hal tersebut berpengaruh pada percepatan laju reaksi. Semuanya daalm bentuk virtual,” jelas Hafis.

Kelebihan lain dari game ini adalah penggunaan algoritma Dynamic Difficulty Adjusment (DDA) didalamnya. Algoritma ini membuat game mampu menyajikan level yang berbeda-beda antar pengguna sesuai dengan kemampuannya. Pada level awal pengguna akan diberikan misi yang sama, gunanya untuk mengukur kemampuan pengguna. Namun pada level lanjutan maka misi atau tugas yang diberikan bisa berbeda antara pengguna satu dengan pengguna lainnya. Bagi pengguna yang memiliki kemampuan tinggi akan diberikan level misi dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Sementara untuk pengguna yang memiliki kemampuan kurang akan diturunkan tingkat kesulitannya dan diberi opsi bantuan, harapannya pengguna bisa memperbaiki kesalahannya. Kemudian jika sudah mampu menjawab dengan benar baru akan disesuaikan kembali tingkat kesulitannya.

“Tujuannya menggunakan algoritma ini agar siswa yang sudah paham tentang laju reaksi tidak bosan dan bagi siswa yang kurang mampu tidak merasa bingung dan tetap bisa meningkatkan pemahamannya,” jelas Hafis.

Game ini sudah diujicobakan di SMA Brawijaya Smart School. Tepatnya pada siswa kelas X dan XI. Sengaja diambil dua kelas berbeda karena kelas X belum pernah mempelajari laju reaksi dan kelas XI sudah mendapat pelajaran laju reaksi. Tujuannya untuk melihat apakah game ini mampu memberikan dampak pada pengguna yang sudah belajar tentang laju reaksi saja atau juga bisa berpengaruh pada pengguna yang sama sekali belum pernah belajar tentang laju reaksi.

“Dari ujicoba ini diperoleh hasil bahwa pada dua kelompok siswa tersebut sama-sama menunjukkan peningkatan pemahaman tentang laju reaksi setelah memainkan game ini. Pengukurannya dengan cara memberikan pretest dan posttest pada pengguna, saat seelum dan sesudah memainkan game ini,” ungkap Hafis. [dna]