Baterai Kaktus Centong Energi Alternatif Ramah Lingkungan
“BATUSCEN” alias Baterai Kaktus Centong adalah nama yang diberikan untuk baterai ramah lingkungan hasil temuan 3 mahasiswa UB, Riska Amalia (PTIIK/2011), Susilowati (Teknik Kimia/2011), dan Windy Antika (Statistika/2011).
Menurut Riska yang mengagas temuan ini, latar belakang pembuatan Batuscen karena dirinya melihat di tempat tinggalnya Magetan banyak kaktus centong yang tumbuh tapi tidak pernah dimanfaatkan. Selain itu, selama ini baterai yang banyak beredar di masyarakat masih terbuat dari bahan-bahan kimia yang limbahnya pasca penggunaan dapat mencemari lingkungan. Berbeda dengan Batuscen ini limbah setelah penggunaannya tidak akan mencemari lingkungan karena terbuat dari tumbuhan. Selain itu Batuscen ini juga lebih tahan lama. Untuk baterai di pasaran yang memiliki tegangan 1,5 – 3 volt jika digunakan pada lampu yang menyala terus menerus hanya bertahan dalam 2 hari saja. Sementara itu Batuscen dengan tegangan yang sama jika digunakan pada lampu yang menyala terus menerus dapat bertahan hingga 3 bulan.
Batuscen ini dibuat dengan cara memarut kaktus centong hingga menjadi partikel yang lebih kecil, kemudian dimasukkan dalam wadah aki bekas motor. Katoda Batuscen dibuat dari tembaga sementara anodanya dari seng dan ditancapkan ke per sel aki yang telah diisi parutan kaktus centong. Kemudian dengan memakai rangkaian seri untuk setiap selnya 2 buah aki Batuscen diparalelkan. Tegangan yang dapat dihasilkan Batuscen ini per sel mencapai 1.6 volt, sehingga untuk 2 Aki batuscen yang dibuat Riska dan timnya dapat menghasilkan tegangan listrik hingga 19.2 volt (setara tegangan untuk menyalakan 25 lampu LED, 1 jam digital, 1 kalkulator digital dan 1 jam dinding).
“Untuk membuat 2 Batuscen itu kami memerlukan sekitar 12 kaktus centong. Jadi teman saya Susilowati dari teknik kimia yang meneliti kandungan dan bagaimana potensi aliran listrik dalam kaktus. Lalu Windy dari Statistika yang merekap data dari penelitian, misalkan data tegangan, populasi, sampel dan variabelnya. Sementara saya sendiri yang menentukan jenis rangkaian listrik dan membuat prototype Batuscen,” jelas Riska.
Riska mengaku pemilihan kaktus centong bukan hanya semata kebetulan saja, tapi dirinya bersama tim telah melakukan penelitian terdahulu yang hasilnya menunjukkan bahwa diantara varian kaktus yang lain seperti kaktus hias dan kaktus bintang yang ada di Indonesia, kaktus centonglah yang dapat menghasilkan voltase paling besar. Selain itu dari hasil penelitiannya yang membandingkan dengan penelitian sebelumnya seperti baterai yang dibuat dari kulit pisang dan blimbing, diperoleh hasil bahwa kaktus centonglah yang memilki kandungan kation penghasil listrik paling tinggi.
Karena berbagai kelebihannya, Batuscen juga telah mengantarkan Riska dan timnya meraih Juara 2 dalam Innovative Material Engineering Competition (IMEC), sebuah kompetisi di bidang inovasi penemuan sumber energi baru yang digelar oleh ITS pada 28 April 2013 lalu.
Meski demikian, tim penemu Batuscen ini tidak kemudian berpuas diri. Riska dan kawan-kawan masih berharap dapat memperbaiki kemasan Batuscennya yang semula dari aki motor bekas menjadi kemasan yang memiliki nilai estetika, lebih ramah lingkungan dan lebih mudah dibawa berpindah tempat. [dna]
Berita tentang Batuscen ini juga telah dipublikasikan di:
detiksurabaya.com