Psikotes Bagi MABA Difable PTIIK UB
Psikotes bagi mahasiswa baru penyandang difable (different ability) digelar Program Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer (PTIIK) Universitas Brawijaya Kamis, 20 Desember 2012. Empat mahasiswa baru PTIIK UB yang menyandang tuna rungu mengikuti kegiatan ini dengan didampingi oleh dua orang penerjemah dari mahasiswa PTIIK UB angkatan 2010. Dalam kegiatan yang digelar oleh unit Bimbingan Konseling dan Penempatan Kerja (BKPK) PTIIK UB ini para mahasiswa difable tetap mendapatkan materi soal yang sama dengan mahasiswa lainnya.
Wiwin Lukitohadi, S.H., S.Psi., CHRM, ketua unit BKPK PTIIK mengatakan bahwa kegiatan psikotes ini digelar untuk semua mahasiswa PTIIK angkatan 2012, termasuk mahasiswa difable. Untuk psikotes mahasiswa reguler telah digelar tanggal 3 – 7 Desember 2012 lalu. Hasil dari psikotes ini nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai alat deteksi dini keminatan dan bakat mahasiswa PTIIK.
“Psikotes untuk maba ini adalah program BKPK yang nantinya diharapkan bisa menjadi alat deteksi dini keminatan dan bakat mahasiswa PTIIK. Nantinya hasil psikotes ini akan kita serahkan ke masing-masing mahasiswa agar bisa dijadikan bahan evalusi kelemahan dan kelebihan yang dimiliki masing-masing mahasiswa,” ujarnya.
Meskipun materi soal psikotes yang diberikan sama dengan yang diberikan pada mahasiswa reguler, tapi untuk psikotes mahasiswa difable mendapatkan sedikit tambahan waktu. Jika waktu yang diberikan untuk mahasiswa reguler maksimal 1,5 jam, mahasiswa difable mendapatkan waktu mengerjakan psikotes maksimal 2 jam. Empat mahasiswa yang terdiri dari Dhoni Indras S., Moh. Abu Hasan, Dwi Putranto, dan Maharoni H. P. mengikuti psikotes ini dengan antusias. Psikotes yang diberikan berupa tes kepribadian dan tes IQ.
Dalam proses pengerjaan soal para peserta diperbolehkan untuk bertanya pada penerjemah dan tim BKPK, jika dirasa ada soal yang sulit dipahami. Menurut M. Mart Hans Luber dan Riski Ashar M. yang ikut datang ke psikotes untuk mendampingi sebagai penerjamah, umumnya rekan mereka ini kesulitan untuk memahami kalimat dikarenakan perbendaharaan kata yang minim.
“Biasanya kesulitan mereka memahami kalimat karena perbendaharaan kata yang dimiliki terbatas. Jadi karena tidak dapat mendengar sejak lahir otomatis kata-kata yang dipahaminya sedikit, sehingga mereka harus bertanya ke kami jika ada kata-kata yang susah,” jelas Riski Ashar M yang akrab dipanggil Eky.
Hans dan Eky mendampingi dan membantu para rekannya dengan sabar dan penuh perhatian. Tim BKPK juga berusaha maksimal agar peserta tidak tegang dan bisa mengerjakan soal psikotes secara maksimal. Di akhir acara, Dwi Putranto dan mahasiswa difable lainnya mengatakan bahwa soal psikotes yang paling sulit adalah soal hitungan, karena harus menghitung dengan teliti dengan waktu yang terbatas.
Dalam kesempatan itu Dwi Putranto mewakili rekan-rekannya menyampaikan bahwa kesempatan berkuliah ini telah ditunggunya sejak lama, sehingga dirinya sangat senang ketika mengetahui bahwa pada tahun 2012 pemerintah Indonesia telah memulai program penerimaan mahasiswa difable di berbagai universitas di Indonesia. Dwi juga berharap nanti kedepannya akan ada sistem yang lebih baik untuk pendidikan bagi mahasiswa difable.
“Saya akan senang sekali jika ada teman mahasiswa atau dosen yang mau belajar bahasa isyarat supaya kami bisa berkomunikasi. Atau jika kami kesulitan di mata kuliah yang kami tidak mengerti ada yang bisa membantu kami meski tidak didampingi penerjemah,” ujar Dwi yang diterjemahkan oleh Hans. (dna)
Berita terkait juga telah diterbitkan di Malang Post, 5 Januari 2013